“Bagiku kamu hanya teman. Aku lebih suka kita tetap menjadi teman”
Lee Soo (More Than Friends)
Aku, Kyung Woo Yoen, seorang gadis clumsy nan baik hati (atau pabo?) yang senang dengan dunia menulis. Aku beranggapan tak mengapa jika diriku menderita sedikit karena dikasari orang lain. Karena tidak akan ada yang marah atau terluka. Ia, Lee Soo, lelaki dingin, tampan, pujaan gadis-gadis di sekolah. Kami dua tahun di kelas yang sama, tak begitu dekat. Sampai suatu pagi ia menarik salah satu earphone ku dan memberitahu kalau tali sepatuku terlepas.
Lee Soo tak bisa diam melihat keclumsy-anku. Saat aku lupa membawa piagam penghargaan ku, Soo yang membawanya diantara sekian banyak orang. Soo juga menyelamatkanku saat aku diperlakukan kasar. “Aku merasa terganggu, ” kata Lee Soo saat aku bertanya apa pedulinya.
“Jika kau saja tak memedulikan dirimu sendiri, untuk apa orang lain mempedulikanmu? ” begitu nasihat Lee Soo padaku saat aku merasa tak apa menerima kekasaran orang lain.
Walau ini tahun keduaku di Sekolah Menengah Atas, aku belum punya sahabat. Aku hanya ingin punya sahabat, tak apa jika aku menderita sedikit selama tak ada yang marah atau terluka. Tapi, Soo bilang itu tidak baik, “Untukmu.”
Ya, Soo bilang walau orang lain tak marah atau tak terluka, diriku dalam keadaan tak baik karena dikasari. Di tengah kebingunganku, Soo tiba-tiba menyebut namaku saat aku tanya siapa saja temannya. Apakah aku percaya begitu saja kalau aku temannya? Tidaklaaah. Da aku mah apa atuh. Jadi, aku berkonsultasi kepada teman-teman kelompok relawan. Apalagi, Soo membelikanku salep lebam setelah aku terkena bola gegara ia menghindarinya. Walau khawatir kepedean atau kegeeran, tapi teman-temanku sefrekuensi denganku, mereka bilang Soo menyukaiku.
“Karena kau menonjol, ” kata Soo saat ku tanya kenapa ia baik padaku. Ia terus berada di sekitarku selama 2 tahun. Lantas ia juga berpesan, “Jangan berubah untuk orang lain. Apapun yang kau lakukan, mereka yang ingin pergi akan pergi, dan yang tinggal akan menetap. “
Tapi ternyata Soo-lah pergi ke sisi lain Bumi, Amerika, untuk belajar. Setelah ia mengajakku menonton film di bioskop, bermain semalaman, membelikan boneka beruang yang kuinginkan. Ia membuat anganku melambung tinggi. Ku pikir ia mau menyatakan perasaannya. Ternyata, ia berpamitan.
Tak mau menyesal, aku memberanikan diri menyatakan perasaanku padanya di bandara, sebelum ia pergi. Tapi, ternyata semuanya hanya angan kosong ku. Soo hanya menganggapku teman, dan hanya ingin menjadi temanku saja. Ya, air mataku mengalir, menganak sungai. Aku ditolak.
Mirisnya, 1 dekade berlalu, rasa sukaku tak jua hilang. Kini, Soo kembali hadir di hadapanku. Dengan ringan ia bilang, “Aku selalu memikirkanmu. “
Tapi, ia tak ingin aku mengakui perasaanku padanya. Ia hanya ingin bertemu denganku sebagai teman. Sakit gaes. Jadi, aku tak ingin lagi bertemu dengannya juga tak ingin berteman dengannya lagi. Terhitung dua kali kunyatakan rasa, dan dua kali pula aku ditolaknya.
Waktu berlalu seperti angin yang berhembus. Aku merasa terpuruk, apalagi saat aku memutuskan keluar dari tempat kerja di kantor dan mengejar impianku menjadi kaligrafer. Aku butuh jeda. Ku putuskan tuk pergi ke Pulau Jeju. Namun, tak kusangka takdir membawa ku bertemu kembali dengannya. Ya, aku bertemu Lee Soo. Ia masih manis, perhatian, dan sangat baik padaku. Soo menggendongku saat aku terjatuh, ia bilang melihat malam penuh Bintang akan berbeda esok hari karena aku tak lagi bersamanya. Aku kembali jatuh. Soo terus memberiku hal yang manis, sehingga membuatku lupa rasa pahit. Pahitnya ditolak, pahitnya di PHP in. Aku ingin berhenti menyukainya! Ku buang kompas pemberiannya, ku tolak uluran tangannya, ku tinggalkan boba tea pemberiannya.
Sayang, takdir membawaku kembali bertemu dengannya lagi di Seoul. Soo jadi partner kerjaku. Walau tak ingin bekerja dengannya, aku juga tak ingin melepas pekerjaanku. Pekerjaan impianku. Ku katakan dengan tegas di hadapan Soo, “Aku tidak akan menyukaimu lagi”. Aku tak ingin bingung atau berharap padanya lagi.
Apalagi kini hadir pria lain yang mengapresiasi karyaku dan ‘mengulurkan tangannya’ terlebih dulu padaku. Ia mengakui bahwa ia tertarik padaku dan sedang mendekatiku, On Joon Soo daepyo-nim. Bahkan, daepyo-nim mengatakan bahwa ia ingin melihatku di hadapan Lee Soo.
“Kau bisa tahu sebuah buku Bagus di kalimat pertama, ” itu yang daepyonim katakan saat ia bilang kami ditakdirkan bertemu. Padahal, aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Ya, walau aku suka dengan hal berbau mitos, tapi kali ini aku meragukannya. “Berapa banyak lagi alasan yang kubutuhkan jika aku ingin menemuimu tanpa alasan? “
OMG. Aku terdiam. Daepyo nim sangat berterus terang dan ia pun pandai menghibur orang.
Malu, rasa malu menjalar di tubuhku. Ternyata daepyonim tahu sisi yang ku benci. Sisi betapa aku masih menyukai seorang lelaki bertahun-tahun walau ia menolakku berulang kali, tak mengindahkan perasaanku dan hanya ingin berteman. Tapi, justru Daepyonim bilang ia pernah berada di posisiku. Ia mengerti keadaanku, ia bersimpati padaku. Ia tak merasa aneh atau jijik padaku. Aku pun jadi tambah malu.
Di hadapkan dua pria, apakah yang harus ku lakukan? Yang satu menolak perasaan tulusku, yang satu mengulurkan tangannya padaku. Yang satu hanya ingin berteman, bertemu kala bosan, menghabiskan waktu bersama tanpa ikatan. Yang satu sudah memberikan gambaran jelas dengan konfirmasi bahwa ia memang tertarik padaku dan sedang mendekatiku, sebagai pasangan. Jika kamu menjadiku apa yang akan kamu lakukan?
Lee soo memang manis, kata-katanya sering membuat harapanku terbang tinggi, walau ternyata itu hanya anganku. Fatamorgana tentangnya. Kenyataannya pahit yang kurasa.
Daepyonim memang orang yang baru ku kenal. Tapi, ia berterus terang, ia bilang kalau ragu dan bimbang, ia akan kalah oleh yang lain. Karena itu, ia bersikap terus terang padaku.
Walau satu dekade sudah rasa sukaku pada Lee Soo, tapi itu hanya angin lalu baginya, tak spesial. Sementara daepyonim menganggapku sesuatu hal spesial yang tak boleh dilewatkan.
Aku? Aku ingin bersama dengan orang yang menerimaku apa adanya. Orang yang menyukai apa yang aku sukai. Orang yang menerimaku tak hanya saat aku muda, tapi juga di tua rentaku. Orang yang menerimaku tak hanya saat langsingku, tapi juga saat tubuhku harus melebar karena hamil dan sebagainya. Orang yang bisa kubagi tak hanya suka tapi juga duka dan beban pikiranku. Orang yang mau merajut ikatan pernikahan bersamaku.
Kutekadkan kan kuterima uluran tangan daepyonim. Biarkan kami belajar saling memahami satu sama lain dengan tujuan yang sudah jelas, hubungan dengan ikatan. Biarlah Soo bagai angin yang harus berhembus melewatiku dan hidupku. Biarlah Soo bagai angin yang membawa kenangan. Karena ia angin, tak mungkin ku ikat hubungan dengannya yang berjiwa bebas.
Aku butuh untuk diseriusi bukan hanya perempuan yang bisa ditemui kala bosan.
Goodbye Lee Soo.
Kalau kamu gimana? Siapa yang akan kamu pilih? Tulis di kolom komentar yaa..
Seorang perempuan yang senang mengambil pelajaran hidup dari drama korea. Ibu 3 anak yang senang menulis review drama dengan tema parenting, keluarga, suami istri.
Tinggalkan Balasan